Pasar saham merupakan salah satu tempat berinvestasi yang banyak diminati oleh anak muda zaman sekarang. Namun, apakah para investor pemula ini paham dengan berbagai istilah dalam saham, seperti stock split dan reverse stock split?
Memahami istilah-istilah tersebut bisa membuat investor menjadi lebih bijak dalam mengambil keputusan saat berinvestasi.
Pengertian Reverse Stock Split
Stock split dan reverse stock split adalah dua dari sekian banyak aksi korporasi yang bisa dilakukan oleh sebuah perusahaan yang terdaftar di bursa (emiten).
Stock split adalah pemecahan saham yang dilakukan oleh perusahaan sehingga harga sahamnya menjadi lebih murah daripada sebelumnya. Contohnya harga saham ABCD semula adalah Rp 10.000, lalu dilakukan stock split dengan rasio 1:10, sehingga harga barunya menjadi Rp 1.000.
Sementara reverse stock split adalah penggabungan beberapa lembar saham menjadi satu lembar saham. Penggabungan ini menyebabkan harga saham menjadi naik. Misalkan harga saham DEFG sebesar Rp 2.000, lalu dilakukan reverse stock split dengan rasio 4:1, maka harganya berubah menjadi Rp 8.000.
Tujuan Reverse Stock Split
Lantas apa fungsi dari reverse stock split dan mengapa perusahaan melakukannya? Setiap perusahaan tentu memiliki alasan masing-masing. Namun berikut beberapa alasan yang umum terjadi:
1. Mengamankan Posisi di Pasar Modal
Saham dengan harga yang murah cenderung lebih fluktuatif. Hal ini terjadi karena saham jenis ini sangat rentan terhadap tekanan pasar. Bahasa yang lebih umum adalah saham ini mudah untuk digoreng alias saham gorengan.
Ketika ada isu yang menerpa perusahaan ini, maka harga sahamnya bisa berubah secara drastis karena harganya yang murah dan / atau kapitalisasi pasarnya yang kecil. Oleh karena itu, beberapa perusahaan melakukan reverse stock split untuk menaikkan harga sahamnya dan mengurangi fluktuasi. Harga saham yang relatif lebih stabil akan terlihat lebih menarik bagi investor.
Selain itu, Bursa Efek Indonesia juga menetapkan batas minimal harga saham sebesar Rp 50 per lembar. Emiten yang tidak mengikuti aturan ini maka akan dikeluarkan dari bursa atau delisting. Oleh karena itu, ketika harga saham sudah mendekati harga ini sebaiknya perusahaan melakukan reverse stock split supaya sahamnya bisa tetap tercatat di bursa.
2. Menarik Investor
Seperti yang sudah disebutkan di atas bahwa harga saham yang terlalu murah memiliki pergerakan yang cenderung fluktuatif karena mudah dikendalikan oleh tekanan pasar. Hal ini kurang disukai oleh investor.
Maka perusahaan berusaha menaikkan harganya dengan melakukan reverse stock split. Harga saham yang lebih tinggi cenderung memiliki pergerakan yang lebih stabil sehingga bisa menarik minat investor.
3. Mengurangi Jumlah Pemegang Saham
Pemegang saham dapat memberikan pengaruh terhadap arah gerak perusahaan melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Semakin banyak pemegang saham maka pergerakan perusahaan akan lebih sulit untuk diarahkan karena setiap pemegang saham memiliki keinginan masing-masing.
Oleh karena itu, reverse stock split dapat dilakukan untuk mengurangi jumlah pemegang saham. Dengan begitu, diharapkan perusahaan lebih mudah untuk mengatur pemegang saham. Regulasi yang dibuat pun akan sejalan antara perusahaan dan pemegang saham.
Contoh Reverse Stock Split
Beberapa perusahaan tercatat pernah melakukan reverse stock split. Perusahaan-perusahaan ini mengharapkan pergerakan harga yang stabil dan meningkat setelah melakukan aksi korporasi tersebut. Untuk lebih lengkapnya, simak uraian berikut.
- FREN
PT Smart Telecom Tbk (FREN) melakukan reverse stock split pada 2012 dengan rasio 20:1. Harga saham yang tadinya Rp 50 berubah menjadi Rp 1.000 per lembar. Namun harapan untuk memiliki harga saham yang stabil itu tidak terwujud.
Setelah tiga hari diperdagangkan dengan harga baru, harganya langsung terjun bebas ke Rp 108 atau mengalami penurunan hampir 90%. Setelah itu harga saham FREN terus turun dan stabil di kisaran Rp 50 sampai Rp 90 per lembar saham.
- BULL
Perusahaan selanjutnya yang melakukan reverse stock split adalah PT Buana Listya Tama Tbk (BULL). Aksi korporasi ini dilakukan untuk pembayaran hutang senilai total US$ 50 juta kepada Merrill Lynch dan Orchard Centar Master Limited (MLOR).
Seperti diketahui, PT Buana Listya Tama Tbk yang pada saat peminjaman dilakukan, masih dimiliki oleh BLTA. Maka ketika pinjaman tersebut default BLTA yang harus bertanggung jawab.
Bentuk tanggung jawab yang ditempuh adalah reverse stock split dan mengalihkan kepemilikan saham dari BLTA kepada Merrill Lynch dan Orchard Centar Master Limited (MLOR).
- BNBR
Pada 2018 PT Bakrie & Brothers Tbk (BNBR) melakukan reverse stock split dengan rasio 10:1. Harga saham berubah dari level Rp 50 menjadi Rp 500 per lembar. Sayangnya pasca aksi korporasi ini harganya justru anjlok hingga 79% sehingga berada di level Rp 104 per lembar saham.
Hal ini menunjukkan bahwa investor masih belum mengapresiasi kinerja perusahaan. Sentimen negatif ini muncul karena beban hutang perusahaan yang terlalu besar. Hal ini juga terlihat pada catatan keuangan yang menunjukkan rugi bersih pada Q1 2018 sebesar Rp 336 milyar membengkak jika dibandingkan dengan rugi bersih pada Q1 2017 sebesar Rp 155 milyar.