Secara teoritis, terdapat tiga unsur transaksi dalam ekonomi Islam. Tiga unsur transaksi tersebut adalah orang yang melakukan transaksi (subyek transaksi), barang atau jasa yang ditransaksikan (obyek transaksi) dan kontrak transaksi atau yang seringkali disebut sebagai akad.
Setiap unsur transaksi memiliki syarat dan ketentuan tersendiri, begitupun halnya dengan akad. Akad atau kontrak dalam agama Islam harus dibuat sejelas mungkin, sehingga tidak ada ketimpangan informasi yang diterima oleh masing-masing pihak yang bertransaksi (subyek).
Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila akad atau kontrak transaksi di agama Islam dibagi menjadi beberapa jenis akad yang berbeda. Dari beberapa jenis kontrak tersebut, kontrak yang paling populer adalah akad Mudharabah.
Namun demikian, dalam penerapan akad ini secara umum, seringkali nasabah keliru memahami akad ini dengan menyamakannya dengan akad Musyarakah, mengingat keduanya digunakan dalam berbagai mekanisme kredit.
Berikut ini perbedaan antara akad Mudharabah dan Musyarakah yang perlu Anda ketahui.
Definisi
Akad Mudharabah
Secara bahasa, kata Mudharabah dapat diartikan sebagai berjalan di atas bumi untuk berdagang atau berjihad di jalan Allah. Dalam istilah fikih, akad Mudharabah berarti suatu akad yang menghubungkan antara dua belah pihak atau lebih yang mana salah satu dari pihak tersebut merupakan pemilik modal usaha dan pihak lainnya adalah pihak yang menjalankan usaha.
Meskipun masing-masing pihak tersebut berhak mendapatkan sebagian keuntungan dari usaha yang dijalankan, risiko akad ini sepenuhnya ditanggung oleh pemilik modal.
Contohnya adalah ketika A dan B memutuskan untuk bekerja sama dalam usaha budidaya perikanan. A hanya memberikan modal kepada B sementara B hanya berkewajiban mengelola usaha tersebut dengan tanpa harus menyumbangkan modal tambahan. Apabila terjadi gagal panen, maka kerugian atas gagal panen tersebut menjadi tanggungan A dan bukan B.
Akad Musyarakah
Musyarakah dalam bahasa Indonesia bisa diartikan sebagai persekutuan usaha. Dalam akad ini terdapat beberapa pihak yang berkontribusi modal dan tenaga. Pembagian keuntungan, kerugian dan mekanisme kerja akad ini dibagi rata sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati oleh pihak-pihak tersebut.
Contoh akad ini adalah ketika A dan B bersepakat membangun usaha budidaya perikanan, yang mana baik A maupun B menyumbangkan modal sekaligus terlibat langsung dalam proses usaha. A sebagai marketing manager dan B sebagai production manager.
Penerapan dalam Mekanisme Pembiayaan Syariah
Perbankan syariah menggunakan akad mudharabah dan musyarakah khususnya musyarakah mutanaqisah dalam mekanisme pembiayaan kredit syariah. Namun demikian, menurut Eko Ratrianto, salah satu ahli keuangan dari PT Sarana Multigriya sebagaimana yang dilaporkan oleh okezone.com, mayoritas perbankan syariah lebih menyukai akad mudharabah daripada musyarakah mutanaqisah karena alasan penerapan akad mudharabah lebih sederhana.
Akad Mudharabah
Menurut beliau, ketika menggunakan akad mudharabah, transaksi yang terjadi antara bank dan nasabah adalah transaksi jual beli yang mana dalam hal ini bank menjual barang yang menjadi keinginan nasabah dan nasabah tersebut harus membayarnya secara mengangsur.
Contoh dalam kredit perumahan syariah (KPR syariah), jika menggunakan akad mudharabah, bank sebagai pemilik modal menjual rumah tersebut kepada nasabah, sehingga nasabah harus membayar sejumlah tertentu kepada bank. Posisi bank dalam transaksi ini adalah pemilik modal sekaligus pemberi pinjaman.
Akad Musyarakah Mutanaqisah
Lain halnya dengan akad musyarakah. Dalam transaksi pembiayaan syariah, jenis akad musyarakah yang sering digunakan adalah akad musyarakah mutanaqisah. Umumnya akad ini digunakan oleh bank dalam pembiayaan proyek yang produktif alih-alih pembiayaan untuk barang konsumsi.
Jika menggunakan akad ini, bank dan nasabah secara hukum memiliki hak kepemilikan yang sama atas suatu aset yang ditransaksikan. Nasabah lantas diwajibkan untuk membeli hak kepemilikan bank tersebut secara berangsur-angsur.
Contoh apabila dalam kredit perumahan, nasabah dan bank bersepakat untuk menggunakan transaksi ini. Apabila total harga rumah sebesar 100 juta dan uang yang disetorkan nasabah sebesar 50 juta, maka bank harus membayar sisanya yaitu 50 juta.
Dengan demikian, pembagian hak kepemilikan atas rumah tersebut merata sebesar 50% untuk nasabah dan 50% untuk bank. Untuk berhak memiliki rumah tersebut sepenuhnya (100%), maka nasabah harus membeli hak kepemilikan yang dimiliki oleh bank dengan cara mengangsur.
Kesimpulan
Dari penjabaran di atas terlihat bahwasanya perbedaan antara akad mudharabah dan akad msuyarakah adalah:
- Distribusi modal dan kinerja. Dalam akad mudharabah ada pihak pemilik modal saja dan pihak eksekutor usaha saja. Sementara dalam akad musyarakah, setiap pihak adalah pemilik modal dan eksekutor usaha.
- Distribusi risiko. Risiko dalam akad mudharabah sepenuhnya ditanggung pemilik modal, sedangkan dalam akad musyarakah, risiko ditanggung bersama.
- Penerapan kedua akad tersebut di atas dalam pembiayaan perbankan syariah. Bank lebih menyukai akad mudharabah sebab bank hanya berperan sebagai pemberi pinjaman saja. Sedangkan dalam akad musyarakah, bank tidak hanya berperan sebagai pemberi pinjaman tetapi juga berperan sebagai pemilik aset yang sah. Oleh sebab itu, mekanisme pembiayaan dalam akad musyarakah relatif lebih rumit daripada mekanisme pembiayaan dalam akad mudharabah.