Sebagai seorang investor saham, Anda tentu sudah tidak asing dengan pergerakan harga saham. Naik turunnya harga saham secara cepat, terkadang membingungkan para investor pasar modal.
Maka dari itu, sebagai seorang investor saham harus mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi harga saham. Hal ini akan meningkatkan akurasi saat akan membeli saham, sekaligus mencegah kerugian terjadi.
Contents
Setiap emiten yang melantai di bursa akan tergolong dalam sektor tertentu, seperti properti, keuangan, pertambangan, dan masih banyak lagi. Setiap aktivitas di dunia nyata terkait dengan sektor tertentu rupanya mempengaruhi pergerakan harga saham. Hal ini disebut dengan sentimen berdasarkan sektor.
Sentimen sektor dapat berasal dari berbagai sumber, seperti harga komunitas dunia serta perubahan proses bisnis yang signifikan. Salah satu contoh terbaru atas sentimen adalah sektor tambang khususnya untuk industri penambangan logam dan mineral yaitu nikel.
Saat harga komoditas nikel mengalami koreksi pada akhir bulan Februari 2021, harga saham emiten penghasil nikel seperti TINS dan INCO juga ikut turun. Hal ini didorong oleh normalisasi proses bisnis produsen nikel terbesar di dunia milik Rusia yang membuat aliran pasokan nikel global kembali lancar.
Karena terikat dengan perusahaan tertentu, harga setiap saham tentu dipengaruhi oleh sentimen perusahaan. Hal ini meliputi banyak aspek, mulai dari aksi korporasi, kondisi fundamental, hingga isu baik positif maupun negatif yang terjadi.
Beberapa efek aksi korporasi antara lain adalah:
Adapun kondisi fundamental dapat terbukti melalui laporan keuangan per kuartal. Hal ini dapat mendorong kenaikan harga saham sesaat seperti halnya saat terdapat isu positif. Saat terjadi isu negatif, harga saham akan cenderung turun sesaat, misalnya kasus sengketa pajak yang menimpa emiten PGAS pada bulan Januari 2020 lalu.
Pergerakan harga saham berasal dari perubahan demand dan supply atas lembar saham yang tentunya dilakukan oleh investor. Dalam membuat keputusan, investor tentu memiliki daya beli yang berbeda-beda.
Saat kondisi ekonomi negara tertekan, tentu para investor lebih memilih instrumen investasi dengan risiko lebih rendah. Para investor asing yang tidak memandang prospek cerah atas ekonomi suatu negara akan dengan mudah berpindah tujuan investasi.
Contoh paling nyata atas perubahan kondisi ekonomi negara adalah pandemi Covid-19. Aktivitas ekonomi kian terhenti yang ditandai dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Pada bulan September 2020 lalu, efek PSBB Jakarta menyebabkan anjloknya IHSG sebesar 2,99 persen hingga mencapai ke level 4000.
Selain itu, terdapat berbagai parameter yang mencerminkan kondisi ekonomi negara. Salah satu aspek penting yang berpengaruh adalah inflasi, seperti saat rilisnya data inflasi Desember 2020 yang stabil mampu mendorong penguatan IHSG di awal tahun 2021.
Sebagai pengawas pasar, BEI tidak jarang mengeluarkan kebijakan terhadap suatu emiten. Kebijakan ini biasanya terjadi secara mendadak dan langsung berdampak terhadap harga saham.
Beberapa kebijakan yang terjadi adalah Unusual Market Activity (UMA), suspensi saham, dan masih banyak lagi. Hal ini merupakan indikasi atas pergerakan harga saham yang tidak wajar berdasarkan penilaian khusus dari BEI.
Saat BEI merilis surat edaran terkait UMA, harga saham tersebut akan cenderung turun. Para investor memandang UMA sebagai “pertanda” suspensi atau pembekuan saham yang menyebabkan saham tidak bisa diperjualbelikan. Artinya, tekanan jual akan lebih tinggi karena para investor tidak ingin uangnya “tertahan” atau menjadi tidak likuid.
Contoh nyata dampak kebijakan UMA terlihat pada emiten ARTO yang telah mengalami kenaikan harga selama 8 hari beruntun. Pengumuman UMA pun menyebabkan pelemahan saham hingga menyentuh Auto Reject Bawah (ARB) pada akhir bulan Februari 2021 lalu.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa pasar saham merupakan tempat berkumpulnya berbagai pihak dengan kepentingan tertentu. Aksi para pemilik dana yang sangat besar tentu mempengaruhi harga saham. Terlebih lagi jika saham yang dituju memiliki kapitalisasi pasar yang kecil.
Saat terdapat akumulasi atau pembelian besar-besaran, harga suatu saham akan cenderung naik. Para investor lain pun dapat mengalami fenomena Fear of Missing Out (FOMO) atau tidak ingin ketinggalan “pesta” kenaikan harga saham. Hal ini pun meningkatkan tekanan beli suatu emiten bahkan tidak jarang mengalami auto rejection tingkat atas atau ARA.
Saat harga emiten sudah mengalami jenuh beli, maka “bandar saham” yang sudah membeli saham jauh-jauh hari pada harga rendah akan melakukan distribusi. Tekanan jual dengan nominal yang besar pun membuat harga saham anjlok dan didukung dengan ketakutan investor ritel untuk ikut menjual saham pula.
Penjelasan mengenai faktor penentu pergerakan harga saham di atas tentu tidak menjamin kepastian arah gerak harga saham. Anda tetap perlu menerapkan analisis teknikal maupun analisis fundamental sesuai profil investor masing-masing sebagai cara utama.
Harga Batu Bara Acuan (HBA) yang dipatok oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)…
International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia sekilas terlihat sama karena keduanya adalah lembaga keuangan…
Kegiatan suatu perusahaan tentu akan menimbulkan dampak terhadap lingkungan sekitarnya. Untuk mengurangi dampak tersebut, perusahaan…
Investasi properti dan real estate merupakan salah satu investasi yang menarik karena menawarkan return yang…
Pengertian Big Mac Index Pernahkah Anda membayangkan perbandingan antara dua mata uang asing? Seperti antara…
Investasi tanah masih menjadi idaman banyak orang mengingat besarnya keuntungan yang ditawarkan. Terkadang hal ini…