Saham

Analisis Bottom Up: Pengertian, Kelebihan dan Kekurangan

Pengertian Analisis Bottom Up

Memilih saham terbaik di bursa tentu bukanlah hal yang mudah. Oleh karena itu diperlukan metode untuk menentukan saham terbaik. Salah satunya adalah analisis top down dan bottom up.

Pada artikel ini, akan dibahas lebih lanjut mengenai analisis bottom up. Analisis ini mempertimbangkan kinerja perusahaan di masa lalu untuk memprediksi potensi saham tersebut ke depannya.

Analisis bottom up sesuai namanya mengawali analisis dari hal khusus (kinerja perusahaan) lalu melebar ke hal umum (kondisi ekonomi makro). Analisis ini membutuhkan waktu yang cukup lama karena investor harus menganalisis perusahaan satu per satu, baik secara kuantitatif maupun kualitatif .

Analisis kuantitatif melibatkan berbagai angka yang mencerminkan kinerja perusahaan seperti revenue, keuntungan bersih, total aset dan total hutang. Data-data tersebut terdapat pada laporan keuangan perusahaan yang diterbitkan setiap tiga bulan. Investor bisa mengakses laporan keuangan pada website Bursa Efek Indonesia, perusahaan atau sekuritas.

Sementara analisis kualitatif berfokus kepada hal-hal yang tidak bisa dihitung seperti manajemen perusahaan, model bisnis, dan brand image perusahaan. Investor bisa mengakses informasi kualitatif tersebut melalui berbagai kanal berita seperti Kontan, CNBC Indonesia dan Bisnis Indonesia.

Jika sudah menemukan perusahaan yang potensial lalu investor menganalisis berbagai kebijakan dalam negeri ataupun global yang akan berpengaruh terhadap perusahaan tersebut. Sinergi antara kondisi mikro dan makro ini diperlukan untuk memitigasi risiko fluktuasi harga saham.

Kelebihan dan Kekurangan Analisis Bottom Up

Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa analisis bottom up memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan, yaitu:

Kelebihan

  • Investor memiliki pemahaman yang detail mengenai emiten-emiten yang dianalisis sehingga dapat memiliki high conviction terhadap emiten yang dipilihnya.
  • Jumlah emiten yang ada di dalam portofolio relatif sedikit sehingga investor mudah untuk memonitor portofolionya.

Kekurangan

  • Menganalisis emiten satu per satu memerlukan waktu dan kesabaran.
  • Memerlukan kemampuan analisis yang baik terkait laporan keuangan dan berbagai indikator ekonomi lainnya.
  • Bisa terjadi overexposure terhadap saham saat pasar sedang bearish.
  • Volatilitas tinggi karena portofolio yang kurang terdiversifikasi.

Contoh Analisis Bottom Up

Analisis bottom up diawali dengan analisis emiten yang berpotensi memberikan keuntungan di masa depan. Analisis ini hanya contoh dan bukan merupakan ajakan untuk membeli atau menjual. Investor diharapkan melakukan analisis kembali sebelum mengambil keputusan investasi.

Salah satu emiten potensial adalah PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (TLKM). Harga saham emiten yang bergerak di bidang infrastruktur telekomunikasi ini naik 420 poin atau 11,48% dalam sebulan terakhir. Per 1 Desember 2021, saham TLKM berada di level Rp 4.080.

Penguatan ini didukung oleh beberapa sentimen diantaranya kinerja keuangan yang baik pada Q3 2021. TLKM berhasil mencatatkan penjualan sebesar Rp 106,04 triliun, naik 6,1% dibandingkan dengan periode yang sama di tahun lalu yaitu sebesar Rp 99,94 triliun.  

Laba perusahaan juga naik sebesar 12,8% dari Rp 33,01 triliun pada Q3 2020 menjadi Rp 36,3 triliun pada Q3 2021. Kenaikan harga TLKM juga didorong oleh initial public offering (IPO) anak perusahaannya, Mitratel, yang berpotensi meningkatkan kinerja perusahaan ke depannya.

Selain itu, investasi TLKM di Gojek yang sudah membuahkan capital gain Rp 350 miliar dalam kurun waktu kurang dari setahun juga turut andil dalam mengerek harga sahamnya. Penguatan harga saham TLKM ini diperkirakan akan terus berlanjut hingga akhir tahun.

Pandemi covid-19 menyebabkan mobilitas masyarakat berkurang. Berbagai kegiatan seperti bekerja dan sekolah pindah ke rumah. Hal ini menyebabkan permintaan internet semakin meningkat dan menjadi angin segar bagi emiten telekomunikasi.

Permintaan internet yang meningkat didominasi oleh fixed broadband. Indihome adalah market leader pada layanan ini dengan market share sebesar 87%. Pendapatan Indihome pada Q3 2021 sebesar Rp 19,63 triliun, tumbuh 21,84% dibanding periode yang sama pada tahun lalu yaitu Rp 16,11 triliun.

Data pendapatan Indihome ini juga menjadikan TLKM unggul jika dibandingkan dengan kompetitornya. Pada level makro, pemerintah terus menggaungkan ekonomi digital. Perusahaan besar maupun UMKM didorong untuk menjadikan bisnisnya go digital.

Digitalisasi ini membutuhkan ketersediaan akses internet yang baik. Oleh karena itu, secara jangka panjang emiten sektor telekomunikasi memiliki prospek yang cerah ke depannya. Sekali lagi, analisis ini merupakan contoh dan segala keputusan investasi tetap berada di tangan masing-masing investor.

Chandra Nathalie, S.E

Recent Posts

4 Emiten Batu Bara dengan Kapitalisasi Terbesar

Harga Batu Bara Acuan (HBA) yang dipatok oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)…

1 year ago

6 Perbedaan IMF dan Bank Dunia

International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia sekilas terlihat sama karena keduanya adalah lembaga keuangan…

1 year ago

5 Manfaat Corporate Social Responsibility (CSR) Bagi Perusahaan

Kegiatan suatu perusahaan tentu akan menimbulkan dampak terhadap lingkungan sekitarnya. Untuk mengurangi dampak tersebut, perusahaan…

1 year ago

5 Emiten Properti dan Real Estate untuk Investasi Jangka Panjang

Investasi properti dan real estate merupakan salah satu investasi yang menarik karena menawarkan return yang…

1 year ago

Big Mac Index – Pengertian, Penerimaan dan Batasannya

Pengertian Big Mac Index Pernahkah Anda membayangkan perbandingan antara dua mata uang asing? Seperti antara…

1 year ago

4 Cara Mengecek Tanah Bebas Masalah

Investasi tanah masih menjadi idaman banyak orang mengingat besarnya keuntungan yang ditawarkan. Terkadang hal ini…

1 year ago