Investor dengan modal minim dapat membeli saham-saham dari perusahaan yang memiliki fundamental baik dengan menggunakan fasilitas Margin Trading. Fasilitas Margin Trading memungkinkan investor untuk berinvestasi di saham yang memiliki harga mahal dengan bantuan dana dari broker atau perusahaan sekuritas, sehingga investor dapat meraup keuntungan berkali lipat dari modal investasi yang dia miliki.
Tetapi, sesuai dengan prinsip high risk high return, praktik Margin Trading juga datang bukan tanpa konsekuensi. Artikel ini akan membahas seluk beluk Margin Trading dengan contohnya untuk Anda.
Contents
Secara bahasa, Margin Trading dapat diartikan sebagai selisih penjualan. Dalam konteks bisnis secara umum, Margin adalah selisih antara nilai jual sebuah komoditas dan nilai produksi komoditas tersebut. Margin juga bisa berarti rasio keuntungan (profit) dengan nilai jual atau biaya produksi.
Dalam konteks investasi, Margin Trading merupakan nilai selisih antara nilai aset atau efek yang dimiliki oleh seorang investor dengan nilai utang investor tersebut kepada broker yang meminjamkan dana untuk membeli efek tersebut.
Praktik Margin Trading adalah praktik pembelian efek oleh seorang investor yang mana investor tersebut tidak sepenuhnya menggunakan uang miliknya sendiri untuk membeli efek melainkan, dia meminjam sebagian dana modalnya dari broker.
Praktik ini tidak bisa dilakukan oleh sembarang investor. Jika Anda ingin melakukan transaksi ini, maka Anda harus memiliki modal minimum 200 juta rupiah.
Margin Trading juga tidak bisa dilakukan untuk sembarang saham. Hanya saham-saham dari perusahaan yang memiliki fundamental baiklah yang memenuhi kualifikasi untuk transaksi ini.
Manfaat utama dari transaksi Margin Trading adalah investor dapat membeli saham yang lebih banyak daripada kemampuannya. Selain itu, beberapa perusahaan efek juga menawarkan biaya rekening yang lebih rendah daripada biaya rekening reguler.
Berbeda dengan Short Selling, fatwa Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) masih menilai Margin Trading sebagai transaksi yang boleh dilakukan. Padahal, praktik kedua transaksi ini hampir mirip.
Transaksi Margin Trading dan Short Selling sama-sama menjual saham yang belum dimiliki. Secara ringkas, berikut ini perbedaan antara Margin Trading dan Short Selling:
Dalam Margin Trading, selama seorang investor sudah memiliki dan mampu menjual saham terkait, maka urusan selesai. Entah itu investor akan mengalami kerugian jika nilainya turun atau mendapatkan keuntungan jika harga sahamnya naik.
Di sisi lain, dalam transaksi Short Selling, seorang investor harus membeli ulang saham terkait dengan harga yang lebih rendah untuk mendapatkan keuntungan. Hal ini berakibat jika harga turun, investor tersebut untung dan broker yang memberinya pinjaman mengalami kerugian dan sebaliknya, jika harga naik investor yang rugi dan broker untung.
Budi adalah seorang investor. Dia ingin membeli saham perusahaan ABCD sebanyak 1500 lembar saham. Padahal harga saham perusahaan tersebut sebesar 20.000 rupiah per lembar, sehingga untuk membeli 1500 lembar saham perusahaan itu, Budi perlu dana sebesar 30 juta.
Saat ini, Budi hanya memiliki uang sebesar 15.000.000 rupiah untuk membeli saham. Oleh karena itu, Budi melakukan praktik Margin Trading. Dia meminjam dana dari broker di perusahaan XYZ sebesar 15.000.000 rupiah.
Dengan demikian, jika harga saham perusahaan ABCD meningkat jadi 21.000 per lembar, Budi akan mendapatkan keuntungan sebesar 1.500.000. Akan tetapi jika harga saham perusahaan tersebut turun jadi 19.000 per lembar, Budi harus menanggung rugi sebesar 1.500.000.
Dalam contoh di atas, harga saham yang dibeli Budi hanya turun sebesar 1000 rupiah atau 5% dari harga asal. Padahal dalam dunia nyata, penurunan harga saham bisa jadi lebih parah dari itu.
Apalagi modal minimum yang diperlukan untuk transaksi Margin Trading adalah sebesar 200 juta rupiah. Jika harga saham perusahaan ABCD di atas turun dari 20.000 ke 19.000 per lembar, maka Budi harus menanggung rugi.
Sama seperti Short Selling, transaksi Margin Trading juga memiliki batas waktu. Apabila dalam batas waktu tersebut investor tidak bisa membayar cicilan utang atau melunasi utang, maka perusahaan efek berhak untuk melakukan forced sell.
Forced sell adalah mekanisme penjualan paksa atas sebuah saham yang dilakukan perusahaan efek kepada nasabahnya yang gagal membayar cicilan atau melunasi saham tersebut pada tanggal jatuh tempo yang ditentukan sebelumnya.
Prinsip ‘high risk, high return’ memang harus diterapkan dalam semua lini investasi. Baik Margin Trading atau Short Selling merupakan transaksi yang bisa menghadirkan keuntungan yang tinggi. Namun keduanya juga memiliki risiko yang tinggi sehingga harus dilakukan oleh investor yang ahli dan berhati-hati.
Harga Batu Bara Acuan (HBA) yang dipatok oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)…
International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia sekilas terlihat sama karena keduanya adalah lembaga keuangan…
Kegiatan suatu perusahaan tentu akan menimbulkan dampak terhadap lingkungan sekitarnya. Untuk mengurangi dampak tersebut, perusahaan…
Investasi properti dan real estate merupakan salah satu investasi yang menarik karena menawarkan return yang…
Pengertian Big Mac Index Pernahkah Anda membayangkan perbandingan antara dua mata uang asing? Seperti antara…
Investasi tanah masih menjadi idaman banyak orang mengingat besarnya keuntungan yang ditawarkan. Terkadang hal ini…