Keuangan

5 Dampak Kenaikan Suku Bunga The Fed

The Fed menaikkan suku bunga acuannya sebanyak tiga kali sepanjang tahun 2022, yaitu pada bulan Maret, Mei dan Juni dengan kenaikan masing-masing sebesar 25 bps, 50 bps dan 75 bps. Sehingga sepanjang tahun ini The Fed sudah menaikkan suku bunga sebesar 150 bps atau setara dengan 1,5%. Hal ini membuat nilai suku bunga The Fed berada di angka 1,75%. 

Langkah ini diambil untuk mengendalikan inflasi di Amerika Serikat (AS). Inflasi di negeri Paman Sam tersebut sudah melampaui 8% sejak Maret atau lebih tepatnya 8,5%.

Inflasi sempat menurun pada bulan April menjadi 8,3%, namun kembali naik di bulan Mei ke angka 8,6%. Hal ini menjadi indikasi bahwa The Fed akan terus menaikkan suku bunga hingga inflasi terkendali.

Sebagai negara adidaya yang berpengaruh secara ekonomi, maka kebijakan ekonomi yang diambil oleh AS akan berpengaruh ke banyak negara termasuk Indonesia. Apalagi dengan status AS sebagai mitra dagang Indonesia, maka dampak yang diberikan akan cukup besar.

Berikut 5 dampak kenaikan suku bunga The Fed terhadap perekonomian Indonesia:

1. Capital Outflow

Kenaikan suku bunga The Fed membuat terjadinya capital outflow atau keluarnya modal dari dalam negeri ke luar negeri. Hal ini terjadi karena spread antara yield SBN dan yield treasury di tenor yang sama semakin menyempit.

Total dana asing yang keluar dari pasar domestik pada saat pengumuman kenaikan suku bunga The Fed yang ketiga (13-16 Juni) mencapai Rp 7,34 triliun dengan rincian Rp 6,75 triliun di pasar SBN dan Rp 590 miliar di pasar saham.

Capital outflow ini membuat porsi kepemilikan investor asing semakin berkurang di SBN. Pada akhir tahun 2021, porsi investor asing mencapai 19%. Sementara pada Mei tahun ini porsi kepemilikannya turun menjadi 16,42%.

Selain capital outflow, kenaikan suku bunga The Fed juga mendorong volatilitas yield obligasi Indonesia yang pada akhirnya akan membuat investor asing mengamankan dananya di pasar AS yang relatif lebih stabil.

2. Rupiah Melemah

Capital outflow ini menjadi salah satu pemicu melemahnya rupiah. Bertambahnya aliran dana ke AS membuat nilai tukar dolar AS meningkat. Selain itu, kenaikan suku bunga The Fed juga membuat permintaan dolar AS meningkat, sehingga nilainya semakin kuat dan di saat yang bersamaan mata uang lain melemah, termasuk rupiah.

Pada akhir tahun 2021, nilai tukar rupiah berada di level Rp 14.312 per dolar AS. Kekhawatiran kenaikan suku bunga The Fed mulai terlihat pada pelemahan rupiah di bulan Februari yang mencapai Rp 14.400 per dolar AS.

Rupiah pun terus melemah hingga mencapai level Rp 14.500 – 14.600 pada bulan Mei. Rupiah makin tertekan ketika The Fed mengumumkan kenaikan suku bunga ketiga kalinya tahun ini. Pada 17 Juni nilai tukar rupiah mencapai Rp 14.825 per dolar AS. 

3. Kenaikan Beban Hutang dan Impor

Pelemahan rupiah ini turut berdampak pada seluruh transaksi yang dibayarkan dalam mata uang dolar AS. Sebagian obligasi baik pemerintah maupun korporasi tersedia dalam denominasi dolar AS. Kenaikan dolar AS berpotensi meningkatkan beban utang pemerintah dan korporasi khususnya untuk surat utang dalam denominasi dolar AS.

Selain itu, bahan baku beberapa industri juga sangat bergantung kepada impor. Kenaikan dolar AS membuat biaya bahan baku impor meningkat. Hal ini tentu akan membebani perusahaan. Kenaikan bahan baku ini juga bisa menyebabkan produsen menaikkan harga jual produk yang pada akhirnya akan berpengaruh kepada masyarakat.

4. Penurunan Ekspor ke AS

Amerika adalah salah satu mitra dagang utama Indonesia selain Cina. The Fed pada Maret 2022 memprediksi bahwa pertumbuhan ekonomi AS berada pada angka 2,8%. Namun angka ini dipangkas menjadi 1,7% di Juni 2022.

Perlambatan ekonomi AS ini akan berdampak pada penurunan ekspor dari Indonesia ke AS. Penurunan ekspor ini bisa memicu perlambatan ekonomi dalam negeri.

5. Penurunan Cadangan Devisa

Keluarnya modal asing membuat cadangan devisa Indonesia menurun. Posisi cadangan devisa pada April 2022 adalah US$ 135,7 miliar. Pada bulan Mei nilainya sedikit menurun menjadi US$ 135,6 miliar. Penurunan cadangan devisa ini menggambarkan ketahanan perekonomian Indonesia terhadap kondisi eksternal.

Ketika cadangan devisa Indonesia menurun maka nilai tukar rupiah akan cenderung volatile dan melemah. Pada akhirnya hal ini akan merugikan Indonesia terutama terkait dengan transaksi dan pembayaran menggunakan mata uang asing.

Oleh karena itu, pemerintah berusaha mengembalikan porsi hutang Indonesia di bawah 3% gross domestic product (GDP). Hal ini bertujuan untuk meningkatkan ketahanan Indonesia terutama terhadap hutang luar negeri.

Selain itu, pemerintah juga perlu mengurangi capital outflow dengan menaikkan suku bunga Bank Indonesia. Hal ini akan membuat investor asing bertahan di pasar domestik, sehingga nilai capital outflow berkurang.

Januar Iskandar, S.E.

Recent Posts

4 Emiten Batu Bara dengan Kapitalisasi Terbesar

Harga Batu Bara Acuan (HBA) yang dipatok oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)…

1 year ago

6 Perbedaan IMF dan Bank Dunia

International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia sekilas terlihat sama karena keduanya adalah lembaga keuangan…

1 year ago

5 Manfaat Corporate Social Responsibility (CSR) Bagi Perusahaan

Kegiatan suatu perusahaan tentu akan menimbulkan dampak terhadap lingkungan sekitarnya. Untuk mengurangi dampak tersebut, perusahaan…

1 year ago

5 Emiten Properti dan Real Estate untuk Investasi Jangka Panjang

Investasi properti dan real estate merupakan salah satu investasi yang menarik karena menawarkan return yang…

1 year ago

Big Mac Index – Pengertian, Penerimaan dan Batasannya

Pengertian Big Mac Index Pernahkah Anda membayangkan perbandingan antara dua mata uang asing? Seperti antara…

1 year ago

4 Cara Mengecek Tanah Bebas Masalah

Investasi tanah masih menjadi idaman banyak orang mengingat besarnya keuntungan yang ditawarkan. Terkadang hal ini…

1 year ago